Panglima burung atau Pangkalima Burung
Dalam masyarakat Dayak,
dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung,
sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di
pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah pangkalima perang Dayak, Pangkalima Burung,
yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman. Ada banyak sekali
versi cerita mengenai sosok ini, terutama setelah namanya mencuat saat
kerusuhan Sambas dan Sampit.
Ada
yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal
di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula
kabar tentang Pangkalima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk
laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok
Pangkalima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah
tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.
![panglima burung](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipLBFcTVqHG7Slyzr1xdLAqs1Tczae5A3bGBywer8uOIKqxJQ4mHV8SWWN88XAwhjcpHwI0gJNd0ZLUiwbiKyzwxUgd774vSnsbd9kkDfe_QC31SkPePgnQgQXjX5j4_O45HkkRHLQ2nwL/s400/Pangkalima+Burung.jpg)
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Pangkalima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara
yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang
ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah
benar-benar Pangkalima Burung yang sejati.
Banyak
sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut
saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Pengkalima Burung. Ia
adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Pangkalima
Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya,
tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Pangkalima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Pangkalima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.
Lalu bagaimanakah seorang Pangkalima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Pangkalima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.
Dan kenyataan di
lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang
yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang
Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan
baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi
maupun ritual. Seperti Pengkalima Burung yang bersabar dan tetap tenang
mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika
penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap
kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada
anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para
pendatang. Riuh rendah tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang
lingkup–yang oleh orang Dayak Ngaju disebut Danum Kaharingan Belum.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Pangkalima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana
atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan
menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli
dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Pangkalima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Pangkalima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas
di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer
dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Pangkalima Burung turun
gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya
itu habis. Pangkalima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun
jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain.
Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi
penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan
penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah
kesabarannya sudah habis.
Pangkalima
Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya.
Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk
mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian
perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang
tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum
di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti
terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa
kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam,
ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut
kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Pengkalima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik
dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat.
Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan
kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan
alasannya–entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan
lain-lain–tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya
akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam
legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Pangkalima
Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak. Sumber
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Pengkalima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.